SEJARAH KOTA KENDARI
SULAWESI TENGGARA

Mungkin ada yang masih asing dengan kota satu ini.
Perkenalkan, namanya Kendari, Kota Kendari. Ini adalah kota di mana Tarian Lulo
ditarikan, sagu diolah menjadi sinonggi dan kapurung, serta ubi dan jagung
masih menjadi makanan pokok di beberapa daerah. Tulisan ini akan membahas
sejarah singkat terbentuknya Kota Kendari. Walaupun
saat ini Kendari adalah ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), namun
pada awalnya Kendari hanyalah sebuah kabupaten. Pada tahun 1938, ibu kota
Sultra adalah Bau-Bau. Bau-Bau berlokasi di Pulau Buton yang juga merupakan ibu
kotanya hingga saat ini. Nanti pada tahun-tahun berikutnya, ibu kota akhirnya
dipindahkan ke Kendari.
Ternyata, asal nama Kendari berawal dari kesalahpahaman. Jadi
begini ceritanya. Dulu, ada seseorang yang bertanya pada nelayan setempat, “Apa
nama kampung ini?” Si nelayan menjawab, “Kandai.” Usut punya usut, pendengaran
si nelayan saat itu sedang kurang bersahabat. Ia mengira kalau orang itu
menanyakan apa nama alat yang sedang dipegangnya. Memang saat itu si nelayan
sedang memegang kandai. Kandai berasal dari bahasa Tolaki yang berarti alat
dari bambu atau kayu yang dipergunakan untuk menolak/mendorong perahu di tempat
yang airnya dangkal. Zaman sekarang istilah kandai lebih dikenal sebagai
dayung. Tapi kandai dan dayung sesungguhnya berbeda. Kandai sudah ada jauh
sebelum dayung ditemukan. Namun nelayan-nelayan saat ini lebih sering
menggunakan perahu layar atau perahu mesin untuk melaut. Akibat kesalahpahaman
itu, atau lebih tepatnya ketidakpahaman itu, kampung tersebut disebut Kampung
Kandai (Treffers, 1914). Walaupun sudah lama sekali, tapi kampung ini masih ada
loh, namun namanya sudah berubah menjadi Kelurahan Kandai yang berada di bekas
awal pusat Kota Kendari yang terletak di wilayah Kecamatan Kendari a.k.a. Kota
Lama. Selanjutnya dalam berbagai literatur yang ada, nama Kandai berubah
menjadi Kandari atau Kendari.
Vosmaer, seorang Belanda, pada tahun 1831 tiba di Kendari.
Teluk yang sekarang terkenal dengan nama Teluk Kendari dulunya dikenal dengan
sebutan Teluk Vosmaer. Tahu kan, bangsa Eropa sangat gemar memberi nama tempat
penjelajahan mereka dengan nama mereka. Teluk Vosmaer dalam bahasa Belanda
disebut Vosmaer’s Baai. Berakhirnya ekspedisi Vosmaer di Kendari juga
mengakhiri nama Teluk Vosmaer, yang kemudian diganti menjadi Teluk Kendari. Di
sebelah utara Teluk Kendari, banyak bermukim orang Bajo dan Bugis/Makassar. Perlahan-lahan
tapi pasti, dan memang pasti, pemukiman tersebut berkembang menjadi pusat kota
yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Kota Kendari. Sebelum bercerita lebih
jauh, siapa tahu ada yang mempertanyakan perihal orang Bajo dan Bugis/Makassar
yang bermukim di Kendari. Admin mau jawab nih.. mimin baik kan, belum ditanya
sudah menjawab.. hehe… Jadi, Sulawesi Tenggara dulunya masih merupakan bagian
dari Provinsi Sulawesi yang beribukotakan di Ujung Pandang (Makassar). Namun
penduduk yang tinggal di bagian Sulawesi Selatan dan Tenggara mendesak
pemerintah untuk memisahkan diri. Berkat Peraturan Pemerintah tentang
Pembentukan Daerah Otonom setingkat kabupaten, terbentuklah Provinsi Sulawesi
Selatan Tenggara (Sulselra), yaitu Ujung Pandang, Bonthain, Bone, Pare-Pare,
Mandar, Luwu, dan Sulawesi Tenggara. Selanjutnya Sultra kembali memisahkan diri
sehingga berdiri sebagai satu provinsi seperti yang ada saat ini. Kembali ke
masalah Teluk Kendari. Masalahnya belum kelar-kelar kok. Kota Dagang, Pelabuhan
dan Pusat Kerajaan.
Teluk Kendari selanjutnya berkembang menjadi pelabuhan
transito bagi para pedang. Orang Bajo dan Bugis/Makassar menjadi saksi hidup
sejarah kota ini. Selain mereka, juga terdapat suku asli Kendari, Suku Tolaki,
yang bermukim di Abeli, Lepo-Lepo, dan Puwatu. Pada akhir abad ke-18, para
pelayar Bajo dan Bugis mulai melakukan aktivitas perdagangan dengan Suku
Tolaki. Mereka pun membangun pemukiman di sekitar Teluk Kendari pada awal abad
ke-19. Barang-barang di pelabuhan di Teluk Kendari selanjutnya dikirim ke
Makassar dan kawasan Barat Nusantara sampai ke Singapura dan Malaysia. Nah,
nanti pada awal abad ke-20, etnis Buton, Muna, Torete, dan Tokapontori mulai
bermunculan dan ikut bermukim di wilayah utara Teluk Kendari.
Nah, selain kota pelabuhan dan dagang, dulu Kendari juga
terkenal sebagai kota pusat kerajaan. Raja yang berkuasa saat itu adalah Raja
Ranomeeto yang bernama Lakina Laiwoi, di kerajaannya, Kerajaan Laiwoi. Menurut
catatan Vosmaer (1839), istananya dibangun di sekitar Teluk Kendari pada awal
abad ke-19 atau kira-kira tahun 1832. Kalau kita menarik benang merah, maka
dapat disimpulkan bahwa Kota Kendari sudah berusia sangat tua, yaitu 175 tahun.
WOW!
Inilah sedikit dari sejarah terbentuknya Kota Kendari. Namun
sejarah Kendari tidak hanya berhenti sampai di sini. Terlalu banyak cerita jika
hanya ingin mengungkapkan sejarah kota yang dijuluki ‘kota bertakwa’ ini.
Dibutuhkan berlembar-lembar kertas untuk menuliskan keindahan sejarah kota ini.
Eits, jangan salah, sebagai kota pusat kerajaan, Kendari juga tidak lepas dari
peran para pahlawan-pahlawannya seperti Halu Oleo dan Lakilaponto. Nah, kalau
membahas mereka lagi, maka sejarah Kendari tidak akan berhenti sampai di sini. Karena
sudah tahu, kita sebagai pemuda-pemudi harus melestarikan sejarah Kota Kendari.
0 komentar:
Posting Komentar